SLI Wonogiri: Menanam Kesadaran Lewat Pupuk dan Pestisida Organik untuk Tanah Tetap Sehat

Suasana asri dan semangat gotong royong menyelimuti Desa Sendangmulyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, saat Sekolah Lapang Iklim (SLI) pertemuan kedua digelar pada 28–30 April 2025. Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian SLI yang berlangsung dari Maret hingga Juni 2025, sebagai upaya mendorong praktik budidaya pertanian yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim.

Kegiatan ini merupakan kolaborasi apik antara Aliansi Organis Indonesia (AOI) dan Yayasan Gita Pertiwi (GP) dalam proyek “Transformation of Food Systems through Sustainable Agricultural Practices Towards Farmer Sovereignty in Indonesia”. Total 36 peserta hadir, yang terdiri dari para petani dari KWT Lestari Alam, KWT Melati Lestari, Poktan Desa Sendangmulyo, Poktan Ngudi Waras, perwakilan Karang Taruna, BPP Tirtomoyo, serta tim dari GP, AOI, dan para narasumber.

Hari Pertama: Belajar Mengenal Tanah dan Membuat Pupuk Kompos Plus

SLI dimulai dengan persiapan pada 28 April, dan pertemuan resmi berlangsung pada 29 April. Hari pertama diisi dengan materi seputar karakteristik tanah yang cocok untuk budidaya padi, teknik persemaian ramah lingkungan, dan fase vegetatif tanaman padi. Materi disampaikan oleh Pak Yus Wisman Ali dari JAMTANI yang menekankan pentingnya menjaga kesuburan tanah.

“Tanah yang gembur itu mudah diolah dan ditanami. Tapi kalau terus-menerus pakai pupuk kimia, tanah bisa rusak karena unsur kimia mengendap,” ujar Pak Yus. Ia mengajak para petani mulai beralih ke cara bertani yang lebih alami dan berkelanjutan.

Selain teori, peserta juga praktik langsung membuat pupuk kompos plus bersama Pak Lilik Sri Haryanto dari Yayasan Gita Pertiwi. Pupuk ini istimewa karena bisa berfungsi ganda sebagai pestisida nabati. Kompos plus dibuat dengan bahan alami, termasuk Nitrobacter yang berperan mengubah nitrit menjadi nitrat—nutrisi penting bagi tanaman. Pupuk ini diberikan saat peralihan dari fase vegetatif ke generatif agar tanaman tumbuh optimal. Tak ketinggalan, peserta juga belajar mengaplikasikan pupuk organik cair untuk mempercepat pertumbuhan tanaman.

Hari Kedua: Pengamatan di Demoplot dan Diskusi Seru

Tanggal 30 April, peserta diajak terjun langsung ke demoplot untuk melakukan pengamatan lapangan. Mereka dibagi menjadi enam kelompok untuk mengamati tanaman padi dari tiga varietas—Pajajaran, Pepe, dan PMJ—dengan dua perlakuan berbeda: organik dan lokal berkelanjutan.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa varietas Pajajaran tumbuh lebih cepat karena tinggi tanamannya lebih pendek. Di umur 45 hari setelah tanam (HST), tanaman sudah mendekati fase generatif, sehingga perlu pemupukan lanjutan.

Setelah pengamatan, peserta berdiskusi dengan menggambar kondisi tanaman yang diamati: tinggi, jumlah anakan, warna daun, hingga jenis serangga yang ditemukan. Pak Yus menjelaskan bahwa tidak semua serangga adalah hama. “Ada juga serangga baik yang jadi predator hama. Jadi nggak perlu langsung dibasmi pakai pestisida kimia,” jelasnya. Keanekaragaman rumput di lahan pun menjadi indikator kesuburan tanah—kalau hanya satu jenis rumput yang tumbuh, bisa jadi lahannya terlalu asam.

Menyemai Harapan, Menjaga Alam

Kegiatan SLI ini memberikan banyak manfaat nyata bagi para petani. Mereka jadi lebih paham pentingnya pupuk organik dan pestisida nabati sebagai alternatif yang ramah lingkungan, serta diajak lebih jeli dalam mengamati ekosistem pertanian. Proses belajar yang interaktif juga mendorong tumbuhnya kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga kesehatan tanah demi ketahanan pangan dan kemandirian petani.

SLI akan berlanjut dengan materi tentang fase generatif dan persiapan panen, bahkan direncanakan pula pertemuan khusus saat panen raya. Harapannya, petani makin mantap menerapkan budidaya padi yang adaptif terhadap iklim, dengan pengamatan lapangan yang dilakukan rutin sesuai jadwal.

Karena bertani bukan hanya soal menanam, tapi juga merawat tanah, menjaga alam, dan menyemai masa depan.