- Juli 22, 2019
- Posted by: AOI
- Categories: Cerita Anggota, memajukan gerakan po dan trad fair
Setelah sebelumnya menggelar diskusi kebijakan di Pontianak dengan melibatkan sejumlah lembaga anggota dan jaringan di wilayah Kalimantan Barat, Aliansi Organis Indonesia (AOI) kembali menyelenggarakan diskusi serupa di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara (18/7). Acara yang dimotori sekretariat dan anggota AOI wilayah Sumatera Utara tersebut diikuti oleh sedikitnya 30 peserta dari berbagai lembaga diantaranya Bitra dan Petrasa.
Anggota Dewan Perwakilan Anggota (DPA) AOI Sumut, Lidya, dalam sambutannya menyampaikan pentingnya acara diskusi di daerah-daerah basis anggota AOI. “Ini adalah salah satu upaya sekretariat yang baik dan perlu didukung. Dengan demikian wacana dan gerakan advokasi AOI terkait pertanian organis juga secara langsung dapat dirasakan melalui pelibatan anggota-anggotanya di daerah”, paparnya.
Diskusi bertajuk “Reorientasi Kebijakan Pertanian Organik” itu berlangsung meriah. Bertempat di aula YAK Sibolangit, acara dibuka dengan roleplay yang melibatkan seluruh peserta yang hadir. Permainan bernama Tak Tik Bum yang difasilitasi oleh Anta Tarigan (Bitra) tersebut selain mampu mencairkan suasana dan melatih konsentrasi juga dapat menjadi alat untuk saling berkenalan satu sama lain.
Seusai roleplay acara segera disusul dengan inti paparan tentang hasil riset, kertas kebijakan, visi dan langkah kerja advokasi AOI yang disampaikan oleh Loji (Divisi advokasi AOI) , Wahyudi David (Tim riset), dan Gunawan (praktisi hukum dan kebijakan).
Dalam presentasi pengantarnya, Divisi Advokasi AOI menjelaskan tentang sejarah riset yang dilakukan oleh AOI hingga penyusunan policy paper yang melibatkan sejumlah pihak serta berbagai upaya penting untuk mendiseminasikan materi policy paper tersebut kepada jaringan masyarakat sipil lainnya. “Diskusi kebijakan semacam ini juga sudah dilakukan oleh AOI dengan melibatkan sejumlah lembaga lain beberapa waktu yang lalu. Hal ini penting untuk menggalang dukungan karena juga akan dapat membawa manfaat yang lebih luas dan beririsan dengan semangat serta perjuangan kawan-kawan dari banyak lembaga lain, khususnya organisasi petani”, paparnya.
Sementara itu Wahyudi David, anggota tim riset dari Universitas Bakrie Jakarta yang sebelumnya terlibat dalam riset kebijakan tersebut mempresentasikan sejumlah kisi penting diantaranya tentang ketimpangan pasar organik, reduksi makna organik hingga ketimpangan akses dalam rantai organik. Paparan tersebut secara substansi merupakan hasil analisis atas temuan riset sebagaimana sudah disusun dalam policy paper yang telah diterbitkan oleh Aliansi Organis Indonesia. Dokumen policy paper tersebut dapat diakses pada platform online library http://repository.bakrie.ac.id/2304/.
Pada kesempatan yang sama, Gunawan yang mewakili koalisi nasional, dalam paparannya menjelaskan tentang revolusi hijau dan paten hingga sejarah dikeluarkannya UU Sistem Budidaya Tanaman (SBT) dan UU Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) . Dia juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi sehubungan judicial review atas UU SBT hingga Prioritas Prolegnas RUU Sistem Pertanian Berkelanjutan yang juga menjadi salah satu bagian dari materi rekomendasi sebagaimana dalam policy paper. Dalam kaitan perlindungan dan pemberdayaan petani tersebut dipaparkan pula tentang peluang pada Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) , Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. “Pertanian organik bukan hanya tentang sertifikasi organik dalam rangka perdagangan global. Untuk itu perlu diperbanyak petani pemulia benih. Dan sesuai putusan MK, perseorangan petani kecil tidak dilarang atau tak perlu izin dalam mencari, mengembangkan dan mengedarkan benih di komunitasnya”, ungkapnya.
Forum diskusi siang itu makin tampak hidup pada saat sesi tanya jawab berlangsung. Sejumlah peserta mempertanyakan peran pemerintah yang dianggapnya tidak serius dalam mendukung kemajuan pertanian, khususnya pertanian organik. Seperti putusan MK tentang pengembangan benih oleh petani diyakini belum tersosialisasi oleh pemerintah sendiri di tingkat daerah. Selain itu dukungan pemerintah terhadap pertanian organik juga dianggap belum optimal. “Masih setengah hati terutama yang berhubungan dengan produsen. Pertanian organik sejauh ini masih dipahami sebagai produk, bukan proses. Karenanya para petani juga lagi-lagi tetap berada pada posisi pengguna akhir dan menjadi objek dari perdagangan input pertanian walaupun klaimnya sudah dikatakan sebagai input pertanian organik”, ungkap Ridwan dari Petrasa.
Kegiatan Diskusi Kebijakan dalam format FGD regional tersebut merupakan rangkaian dari agenda Seminar Nasional Pertanian Organik yang rencananya akan diselenggarakan pada bulan Agustus mendatang di Jakarta. Direktur Aliansi Organis Indonesia, Stevanus Wangsit, menegaskan tentang pentingnya mendorong upaya advokasi kebijakan bersama dengan anggota AOI di berbagai wilayah di Indonesia. “Bahkan untuk yang bukan anggota AOI sekalipun”, tegasnya. “Penerima manfaat langsung dari materi advokasi ini tentu para petani, khususnya petani organik. Bukan hanya AOI dan anggotanya. Ini karena yang terdampak oleh kebijakan nasional adalah semua pihak dalam jangkauan wilayah kebijakan tersebut diberlakukan. Karenanya sangat perlu acara diskusi semacam ini dilakukan untuk memastikan anggota juga dapat terlibat secara aktif di dalamnya”, lanjutnya lagi.