Jakarta, 21 Agustus 2019 — Pertumbuhan pasar organik di Indonesia terus meningkat. Hal ini didorong peningkatan daya beli masyarakat dan alasan untuk hidup lebih sehat. Di seluruh dunia pertumbuhan organik selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia, pertumbuhan pasar organik sekitar 15-20%.

Dalam acara diskusi bertajuk “Tren Konsumsi dan Gaya Hidup Organik di Indonesia” yang digelar PT Arla Indofood dan Aliansi Organis Indonesia (AOI), di Jakarta (21/8/2019), DR. David Wahyudi, Guru Besar Food Science and Technology, Universitas Bakrie, Indonesia dan Managing Editor Asia Pacific Journal of Sustainable Agriculture, Food & Energy, menjelaskan bahwa sejarah gerakan organik di dunia sebenarnya sudah lama.

Diawali dari gerakan para petani di Eropa tahun 1960-an sebagai efek Green Revolution. Para petani merasa peduli dengan penggunaan pestisida dan penggunaan senyawa kimia yang berlebihan di lahan pertanian.  

Gerakan petani organik ini disebut generasi organik 1.0. Seiring dengan waktu, gerakan petani ini melahirkan kesepakatan bahkan menjadi organisasi besar. Dari sini kemudian lahir definisi atau pengertian organik dan regulasi-regulasi terkait organik.

Generasi ini kemudian berkembang menjadi generasi organik 2.0. Ciri dari generasi kedua organik ini adalah memperjuangan sertifikasi sebagai jaminan pihak ketiga.

“Sekarang kita berada di generasi organik 3.0 di mana konsumen menjadi lebih kritis. Organik bukan lagi kebutuhan petani saja, tetapi lebih ke konsumen. Dari motif awal farmer oriented menjadi consumer oriented. Generasi ini membuka lebar pasar organik,” jelasnya.

Gaya hidup organik juga mulai masuk ke Indonesia. Data menunjukkan produksi dan konsumsi produk makanan organik meningkat. Tidak hanya di tingkat generasi usia 50-an tetapi anak muda atau milenial.

Alasan konsumen memilih produk organik menurut riset adalah ingin hidup lebih sehat. Karena ada kelebihan produk organik dibandingkan produk non-organik, yaitu bebas pestisida dan bebas GMO.

Selain itu alasan yang mendorong konsumen beralih ke produk organik adalah isu lingkungan dan kesejahteraan hewan.

Jenis produk organik yang sudah banyak tersedia di Indonesia adalah beras, buah dan sayuran, ayam, telur, susu dan yogurt dan produk perkebunan (madu, kopi dan vanila).

Sementara menurut Prof. DR. Ir. Ali Khomsan, MS, Guru Besar Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Universitas Institut Pertanian Bogor, penelitian terhadap susu organik dari sisi kandungan gizi, kandungan susu organik berbeda dengan susu konvensional (Palupi, 2012). Namun laporan lain mengklaim tidak ada perbedaan. Jadi belum ada kesimpulan.

“Ada studi yang mengatakan kadar omega-3 dan omega-6 pada susu organik lebih tinggi, yaitu pada susu yang dihasilkan dari sapi yang mengonsumsi rumput hijau (grass milk). Tetapi untuk gizi makronya (lemak, protein, karbohidrat) tidak ada perbedaan signifikan,” ujar Prof. Ali.

DR. dr. Fiastuti Witjaksono, Spesialis Gizi Klinis dari FKUI memberikan tanggapan. Meningkatnya kesadaran untuk hidup sehat di masyarakat, salah satunya pangan organik, harus dimanfaatkan dengan baik.

Selama ini konsumen makanan organik kebanyakan pada penderita kanker, atau anak berkebutuhan khusus. “Seharusnya makanan organik dikonsumsi untuk tindakan preventif. Makan makanan sehat adalah investasi agar terhindar dari berbagai penyakit kronis,” jelas dr. Fiastuti.

Salah satu negara yang menjadi acuan gaya hidup organik adalah Denmark. Erika T. Luquin, konsultan makanan dan peternakan dari kedutaan Denmark, membagikan pengalaman negaranya dalam memperluas gaya hidup organik.

Menurut Erika, dibutuhkan waktu 30 tahun dari awal membangun kesadaran tentang organik hingga saat ini di mana produk-produk organik sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat Denmark.

Denmark termasuk negara pertama yang membuat legislasi tentang produk organik. “Kuncinya adalah terus berinovasi. Melalui Organic Action Plan, kami mendukung riset, menyediakan program bagi peternak yang ingin mengubah peternakannya dari konvensional menjadi peternakan organik. Targetnya menggandakan area organik, dari tahun 2007 sampai 2020,” ujarnya.

Di Denmark semua produk organik sudah mendapatkan sertifikasi dari pemerintah dan didapatkan secara gratis.

Terkait sertifikasi produk organik, di Indonesia masih dilakukan oleh swasta. Menurut Apriyanto Dwi Nugroho, S.T.P., M. Sc, Kepala Bidang Keamanan Pangan Segar, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Kepala Bidang Keamanan Pangan Segar, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian RI, setidaknya ada sembilan lembaga sertifikasi organik di Indonesia saat ini.

“Beban biaya sertifikasi produk pangan organik ini masuk dalam biaya produksi, sehingga dianggap membebani produsen dan berdampak pada harga yang menjadi lebih mahal,” ujarnya.

Kementerian Pertanian sendiri sudah memiliki regulasi organik, antara lain SNI 6729-2016 tentang sistem pertanian organik, Permentan No 64 tahun 2013 tentang sistem pertanian organik dan Peraturan Kepala BPOM No 1 tahun 2017 tentang pengawasan pangan olahan organik.

Saat ini semua produk pertanian organik sudah menggunakan logo hijau dengan kode Lembaga Sertifikasi Organik. Sedangkan produk makanan olahan organic menjadi wewenang BPOM untuk ijin edar.

Yusra Egayanti, Kepala Sub Direktorat Standardisasi Pangan Olahan Tertentu, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, menjelaskan, “BPOM telah mengeluarkan peraturan kepala BPOM tahun 2017 terkait registrasi, peredaran dan pengawasan produk olahan organik di Indonesia. Produk olahan organik dimaksud harus sesuai dengan SNI Sistem Pertanian Organik. Pada prinsipnya, regulasi BPOM adalah untuk memfasilitasi produsen pangan olahan organik dan melindungi konsumen akan keaslian produk olahan organik. Oleh karena itu, BPOM juga melakukan pengawasan secara komprehensif baik sebelum dan sesudah pangan olahan organik beredar di pasar guna memastikan integritas, kualitas, keamanan dan informasi produk pangan olahan organik sesuai peraturan organik yang berlaku.”

Drh. Tjahjani Widiastuti, Kepala Sub Direktorat Pengolahan, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, menambahkan bahwa berbeda dengan produk pertanian dan perkebunan organik yang sudah memulai lebih dulu, bidang perternakan sedikit terlambat karena memang persoalannya lebih kompleks.

“India saja sudah menghasilkan produk organik yang sangat besar. Namun Indonesia memiliki peluang untuk masuk pasar organik dunia dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki,” jelasnya.  

“Usaha untuk mempercepat perkembangan pertanian organik bisa dilakukan dengan banyak cara. Misalnya menghilangkan semua tantangan seperti terbatasnya jumlah pemasok, menyamakan filosofi organik, menyamakan standar produk perternakan organik yang banyak bersifat self-claim organik, dan sebagainya,” ujarnya.

Ciptadi Sukono, Managing Director PT Arla Indofood, menjelaskan bahwa Arla Indofood membawa produk susu organik ke Indonesia untuk mengisi kekosongan dan memberi pilihan kepada konsumen.

“Permintaan produk organik terus meningkat, tetapi belum ada produsen yang memulai menyediakan produk susu organik untuk anak,” katanya.

Sebagai langkah awal, Arla Indofood sudah memulai kerjasama dengan koperasi peternak sapi perah di Malang untuk mengembangkan pertenakan organik pertama di Indonesia. Targetnya, di tahun 2020 bisa dihasilkan 500 anak sapi (pedhet) organik.

Kerjasama ini diharapkan akan berlanjut dalam jangka panjang mengingat semakin tingginya pasar organik di Indonesia.

Haji Kusnan, peternak sapi di Malang dan sudah mengunjungi langsung peternakan sapi organik di Denmark atas ajakan Arla, tertarik mengembangkan peternakan organik.

“Peternak perlu dimotivasi dan diberi arahan. Masalahnya adalah pemahaman antara organik di Indonesia dan Eropa. Khusus untuk susu, sapinya harus digembalakan liar. Tetapi di Indonesia tidak bisa. Sapi masih dikandangkan karena peternak kita punya keterbatasan lahan. Jadi mungkin ada kesepakatan bersama,” ungkap Kusnan.

Stevanus Wangsit, Direktur Aliansi Organis Indonesia (AOI), menyatakan “AOI menyambut baik kerjasama dengan Arla Indofood, AOI ingin berkolaborasi dengan semua pihak, untuk menghadirkan kesempurnaan organik di meja makan.

Jika selama ini sudah banyak dikenal beras organik, sudah banyak ditemui sayuran organik, maka kita berharap akan semakin banyak jenis produk pangan organik yang tersedia di meja makan, semakin sempurna makanan yang masuk dalam perut.”

Dari hasil diskusi kali ini, dicetuskan Gerakan Organik melalui deklarasi Hari Organik Nasional, setiap tanggal 22 September.