Bogor, 11 September 2015; Dengan adanya SNI Multikualitas Beras Organik diharapkan bisa meningkatkan kualitas produksi beras organik Indonesia. Yang selanjutnya pendapatan petani juga diharapkan meningkat dengan  harga hasil panen yang bagus. Selain itu juga bisa meningkatkan kualitas produk beras organik di pasaran yang bermanfaat untuk konsumen, meningkatkan pendapatan penggiling,  meningkatkan keuntungan pedagang gabah/beras dan menekan impor beras premium/organik.
“Pencetusan ide SNI multikualitas untuk beras organik ini tentunya tak terlepas  dari kondisi petani dan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia ini. Adanya perubahan pola konsumsi beras, pentingnya beras sebagai bahan pangan pokok, tantangan impor dan potensi beras organik Indonesia maka diperlukan penerapan sistem Standar Nasional Indonesia (SNI) beras yang baru agar bisa membedakan antara beras kualitas umum dan kualitas khusus yang organik,”  ungkap Rasdi Wangsa, Direktur Aliansi Organis Indonesia (AOI).
SNI multikualitas beras organik juga sangat penting dalam menghadapi  Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang secara khusus bertujuan mencapai pasar ekonomi tunggal kompetitif, yang memiliki pergerakan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan modal secara bebas.
“MEA 2015 merupakan momen penting bagi Indonesia, karena berpeluang memperluas pasar bagi produk-produk industri nasional. Namun di sisi lain, pemberlakuan MEA 2015 juga akan menjadi tantangan, mengingat penduduk Indonesia yang sangat besar, tentunya akan menjadi tujuan pasar bagi produk-produk Negara ASEAN lainnya. Hal ini tentunya menjadi tantangan petani untuk bisa berkompetisi dengan produk-produk dari luar negeri,” tambah Rasdi  saat diskusi tentang SNI Multikualitas Beras Organik di Bogor Organic Fair 5 yang berlangsung di GOR Pajajaran Bogor, Jawa barat (11/9).
Terlebih, Wahyu Purbowasito, Kepala Bidang Pertanian, Pangan dan Kesehatan, Pusat Perumusan Standar, Badan Standarisasi Nasional (BSN) mengatakan bahwa “Bukan hanya masyarakat yang mengonsumsi beras organic itu, tapi juga yang tidak mengonsumsi, karena pada suatu saat produk itu bisa masuk lewat pintu mana saja,” ungkap Wahyu.
Menurutnya, inti standar adalah bagaimana kita semua menyadari bahwa beras yang kita konsumsi itu memang benar memenuhi standar yang ada, dan tingkat kesadaran masyarakat itu adalah kunci dari keamanan kita semua.
Disisi lain MA Samosir, Direktorat Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan, sebenarnya tanpa mengikuti MEA ini kita tetap harus melihat, apa yang harus kita perbuat? Yang kita perbuat adalah meningkatkan standar untuk memperkuat posisi ASEAN, meningkatkan pendapatan masyarakat mikro. Jika kita ingin meningkatkan produk, jangan hanya di satu produk, tapi juga harus meningkatkan di produk yang lain. Mengenai beras, sudah diatur dalam Permendag No.11 tahun 2012. Intinya, kenapa ekspor beras hanya dilakukan jika di dalam negeri sudah memenuhi kebutuhan? Di Permendag itu sudah dirinci secara mendetail, mengenai ekspor, impor, label, kemasan. Kita bekerjasama dengan Kementan untuk menspesifikasi apa yang bisa diperbuat oleh Kementan. Di Kemendag kita hanya mengeluarkan surat ekspor dan impor. Kita melakukan koordinasi dengan instansi terkait yang mendukung ekspor dan impor.
Andrew Leu, Presiden IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) menyebutkan bahwa perkembangan pasar organik sangat pesat, sehingga sertifikasi adalah bagian dari perkembangan itu. Beras adalah makanan pokok sebagian besar masyarakat di  dunia. Khusus di Indonesia, banyak sekali jenis beras itu, beras unik, seperti beras merah dan beras hitam yang punya potensi untuk dikembangkan.
“Kalau kita bicara tentang kesesuaian ekspor dan impornya, negara-negara harus menyesuaikan standar satu sama lain, dan berarti juga hal ini menyangkut biaya-biaya yang ditanggung oleh petani. Dengan bekerjasama dengan FAO dan UNCTAD sekarang sedang diusahakan adanya harmonisasi peraturan-peraturan/standar yang ada di antara negara. Salah satu projeknya adalah bekerja sama dengan sekretariat ASEAN untuk membuat standar ASEAN,” jelas Andre.
Sementara itu tentang konsumen organik, Huzna Zahir, Peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan bahwa konsumsi produk organik makin meningkat, terutama di kalangan kelas menengah dan mereka yang mempunyai daya beli. Beras organik sudah jelas untung ruginya apa bagi konsumen, informasi itu memberi jaminan sehat yang jelas. Produk curah konvensional bisa dengan mudah diakal-akali, karena kita tidak tahu asalnya dari mana, tidak bisa ditelusuri asalnya, apakah menggunakan pemutih, misalnya. Jadi beras organik ini lebih menjanjikan, lebih pasti. (HKL/ANP/SNY)